Mendapat Hidayah Setelah Berteman Dengan Teman Sekantor Yang Shalih

Nafas panjang kudesahkan berusaha berkali kali kuyakinkan diri, cukupkah istighfar dan taubatku menghapus segala dosa masa laluku?

Aku telah menyesali semuanya. Menyesali kebodohanku,dengan mengikuti langkah­-langkah setan. Terjebak pada hal-hal yang tak seharusnya. Aku meng­anggap semua sikap burukku itu suatu yang biasa. Tak menganggap semua itu dosa. Betapa malangnya aku!

Dulu semasa mudaku aku biasa mengambil sesuatu yang bukan hakku. Barang yang seharusnya merupakan amanah, aku khianati. Tak hanya itu, tak mau rugi, aku selalu nakal memainkan timbangan saat berjual beli.

Selain bekerja di sebuah perusahaan, aku juga memiliki toko lumayan besar. Aku bisa membeli tanah berhektar-hektar, punya beberapa rumah besar dan materi yang me­limpah. Makin meng­gunung hartaku, makin tak puas diriku. Tetap saja aku merasa kurang dengan semua itu. Ke­rakusanku pada dunia kian tak terbendung.

Istri dan anak­anakku ikut menikmati semua itu. Istriku hobi belanja dan ke salon. Seperti halnya diriku, ia seorang pemuja dunia. Aku mendukung apa saja yang dilakukannya. Kubiarkan ia dengan bisnis simpan-pinjam uang. Menurutku, itu luar biasa. Dari yang semula dikelola sendiri, sampai akhirnya punya belasan tukang kredit uang. Bisa dibayangkan berapa saja uang yang mengalir tiap hari, pekan, dan bulan.

Aku memang bukan seorang imam dan ke­pala keluarga yang baik. Meski secara duniawi aku selalu memenuhi tang­gung jawabku sebagai kepala rumah tangga, tapi sedikit pun aku tak pernah membimbing mereka dalam hal rohani. Menyuruh istri dan anak anakku untuk shalat pun tidak. Jadi kalau shalat mereka bolong­-bolong itu lumrah. Jika istriku ikut pengajian di kampung, itupun hanya sekadar ikut.

Sementara aanak-anakku hobi nongkrong di depan televisi dan keluyuran, nongkrong dan sibuk dengan dunia muda mereka. Sedikit pun tak ada kekhawatiran dalam hatiku dengan tingkah polah mereka. Aku anggap itu sesuatu yang lumrah dan umum dilakukan para remaja.

Hingga suatu saat, di perusahaan kedatangan seorang karyawan baru, masih muda, santun dan lulusan perguruan tinggi ternama. Ia satu ruang kantor denganku. Awalnya sebagai orang lama, aku meremehkan­nya. Ternyata ia justru menarik perhatian orang­orang kantor, karena bagus kinerjanya. Tak cuma itu, bila ada waktu senggang di kantor ia sibuk dengan membaca buku atau membuka web-web tentang Islam di internet. Kuperhatikan dari hari ke hari, waktu luangnya begitu berarti. Kalau aku dan teman lain ngobrol untuk mengisi waktu luang diantara jeda-jeda kesibukan kerja, dia hanya senyum­-senyum mendengarkan atau jika tak terlalu sibuk dengan pekerjaan, ia asyik shalat Dhuha di bawah sela tangga ke ruang atas kantor.

Ia membawa banyak irama dan warna baru di kantor. Waktu adzan terdengar ia akan segera bangkit mendahului te­man-teman kantor yang lain termasuk diriku. Lain kali ia bisa menjadi teman curhat atau sekadar berta­nya maupun sekadar ingin tahu tentang agama oleh teman-teman kantor. Sekali waktu, aku tak ketinggalan nimbrung dalam “konsultasi” dadakan dengannya. Jika dipikir-pikir, ia seusia anak pertamaku. Tapi ia lebih matang, dewasa, hati-hati tak seperti remaja kebanyakan.

Dalam hitungan bulan, aku merasa nyaman berteman dengannya. Kurasa hal yang sama di­rasakan teman yang lain. Aku biasa ikut membaca buku-buku yang diba­wanya. semua tentang Islam. seperti hari itu, aku meminjam majalah yang dibawanya. Kala sampai pada sebuah pembahasan tentang riba, mendadak hatiku berdegub kencang. Makin gelisah hatiku, saat aku membaca bahwa orang-orang pemakan riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila, ditenggelamkan dalam genangan nanah neraka serta berderet-deret gambaran mengerikan tentang pelaku riba. Padahal riba adalah hari-­hariku dan keluargaku ….

Seharian itu aku tertegun-tegun ditempat kerja. Di rumah pun aku tak tenang. Kupandangi bangunan megah tempat aku dan istri mengelola perputaran uang haram itu. Bayangan belasan karyawanku berkelebat mentertawakanku, wujud- wujud aneh menari-nari

di mataku. Bayangan istriku, anak-anakku juga diriku terlihat terbujur kaku… istighfar kuucap, tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Bayangan-bayangan itu terus mengusikku.

Malam itu juga aku berbicara dengan istriku, bahwa aku ingin mengak­hiri semua bisnis yang kami punya. Kusampaikan semua alasan-alasan dan kekhawa­tiranku. Subhanallah, istriku ternyata punya ketakutan yang sama. Ia mengaku akhir-akhir ini sering meng­alami mimpi buruk yang kurang lebih sama dengan bayanganku dan mengaku gelisah tanpa sebab.

Akhirnya kami menutup usaha simpan [injam uang. Juga memberikan semua isi toko yang kami punya dari uang haram. Kami mulai dari nol lagi. Ternyata anak­anakku bisa mengerti pula.

Alhamdulillah, hidup kamijauh lebih tenang. Tidur kami lebih nyenyak. Aku masih berdagang bersama istri, tapi kami telah tinggalkan semua kecurang­an-kecurangan yang kami lakukan. Rezeki yang kami nikmati kini jauh terasa lebih nikmat dari sebelumnya. Anak-anakku sebagian kupindahkan sekolah di pondok. Semoga Allah terus menjaga semua nikmat ini dan mengampuni semua dosa-dosa kami. Dan untuk teman kantorku, semoga Al­lah membalas kebaikannya, sebab atas izin Allah, Ia telah menjadi salah satu jalan diriku mendapat kebaikan. (Ummu Abdirohman).

Sumber: Majalah Sakinah, Vol.11 No.06, Hal.78-79

Artikel: www.kisahislam.net

Facebook Fans Page: Kisah Teladan & Sejarah Islam

Silahkan di Share, Copas, Dan Lain-Lain, Dengan Tetap Mencantumkan Sumbernya.

=

Comments
All comments.
Comments